Jogja
panas! Itu yang pertama kali muncul dibenakku saat menginjakkan kaki di
jogja. Rasa panasnya seperti menguliti tubuh. Mungkin karena global warming
kah? Bisa saja. Lah wong penduduk di kota Jogja makin ramai gara-gara
tidak pernah berhenti pendatang untuk mencari ilmu di kota pelajar ini.
Jalan yang panas dan macet adalah salah satu penyebab manusia kota jogja
tersulut emosi. Mungkin aku termasuk salah satunya.
Sebenarnya
yang mau aku ceritakan bukan tentang cuaca di Jogja, tapi adalah
kehidupan aku di kostan. Cukup paragraf pertama menjadi prolog. Kali ini
aku akan benar-benar bercerita. Aku tidak bohong. Pertamakali tidur di
kostan hanya ada kasur, lemari baju, meja, rak piring, dan tong sampah.
Hampa sumpah kamar kostan. Mana aku ini hidup di gunung (daerah
kaliurang km atas), maka jadilah aku harus pintar-pintar mencari hiburan
disekitar kostan. Paling parah waktu jamannya ospek. Ospek disuruh pake
baju warna kuning. Berhubung belum tau daerah sekitar kostan, jadilah
aku turun ke daerah malioboro demi mencari baju berwarna kuning. Belum
selesai sampai mendapatkan bajunya, aku terpisah sama teman aku. Ampun
deh. Kerasa banget lah kalo anak desa masuk kota kayak begini. Mana
ngekost nya di gunung, maka konteksnya jadi berubah “anak gunung main ke
kota”. Ujung dari cerita anak gunung main ke kota ini adala ketemuan di
kostan aja. Krik krik krik..
Pertama
kali kuliah, jogja sudah menyambut dengan hujan abu, Wuuuzzzz.
Pengalaman yang tidak akan terlupakan. Hujan abu yang membuat sebagian
jogja memiliki satu warna “abu-abu” dan sebagian kota jogja seperti kota
mati. Gimana tidak mati, sebagian penduduknya mengungsi ke arah
selatan, jadilah daerah utara sepi dan suram. Berhubung aku anak gunung,
tentu aku adalah termasuk salah satu yang mengungsi. Untungnya masih
memiliki eyang yang tinggal di Bantul. Jam 2 pagi adalah saat dimana
orang tertidur pulas, maka saat merapi memuntahkan isi perutnya,
masyarakat yang tinggal di daerah utara masih melek bahkan melototin
tivi buat update berita merapi. Mungkin bisa dikatakan, merapi meletus adalah momen dimana nonton berita adalah trend terhot. Film Korea, Boys band, Girls band, sinetron, FTV, reality show, Gosip sekalipun lewat deh. Pokoknya nonton berita tuh kayak nungguin film harry potter rilis di bioskop terus ditonton berkali-kali.
Merapi
yang kata almarhum mbah Marijan batuk-batuk ini, menorehkan sejuta
pengalaman buatku. Dari yang namanya ngerasain gempa (pertama kali!!),
hujan abu, jadi relawan, dan ternyata merapi juga bisa membuat kisah
cinta. Hahaha. Gimana nggak menimbulkan skandal cinta, temanku yang
jadian sekaligus tiga orang yang jadian karena intensitas relawan yang
memaksa untuk terus bertemu. Aku? Ah, tidak usah ditanya. Aku cukup jadi
penonton saja.
Kosan
apa kabar? Nah ini dia. Aku adalah penghuni kos lantai dua. Emang nasib
kalo jadi penghuni lantai dua. Nggak tau emang listriknya yang nggak
kuat (atau ibu kosnya nggak mau perbaikin) jadilah suka mati lampu
mendadak. Nah, yang kedua adalah dapur yang tidak produktif, yang
memaksa langkahku untuk beralih kedapur lantai satu. Belum cukup sampai
disitu, lantai dua adalah air yang menggunakan pompa. Emang dasarnya uda
nasib, pengalaman mengisahkan aku harus nimba air dari lantai satu buat
dibawa ke kamar mandi tercinta. Itu yang paling tragis. Kalau yang
nggak terlalu tragis adalah aku numpang mandi dikamar mandi teman kamar
sebelah karena hanya kamar terpilih (salah satunya kamarku) yang airnya
tidak mengalir, menetes pun nggak.
Segala
pengalaman yang aku dapat selama menginjakkan kaki di Jogja, baik hitam
atau putih, manis atau pahit, nggak pernah aku sesalin, karena dari
pengalaman aku bisa punya banyak cerita buat anak cucu (loh?) hahaha.
Sekian, ini ceritaku, apa ceritamu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar